Oleh: Iman Widodo
Entah sejak
kapan, leluhur kita telah mempunyai konsep bahwa “urip iku ngunduh wohing pakerti”. Didalam hidup kita akan memanen
apa yang telah kita semai. Konsep hidup itu tampaknya memang sederhana, tapi
sebenarnya mengandung makna yang sangat luas; tergantung siapa dan dalam
konteks apa ia ‘diwedarkan’.
Berbicara soal
memanen, tak bisa dilepaskan dari konteks sosio-historis masyarakat kita yang
menjalani hidup dengan bercocok tanam. Sejak berabad-abad yang lalu leluhur
kita telah mengenal tanaman yang disebut padi. Pada masa lalu, tanaman yang
punya nama lain: pari atau pantun ini disebut dengan istilah
‘juwawut’’. Dari sinilah istilah ‘Jawa dwipa’ muncul untuk menyebut tempat
tumbuhnya padi ini.
Bila menilik hal
tersebut, agak menggelikan ketika sekarang ini ramai dikampanyekan agar
masyarakat beralih dari makanan pokok beras menuju makanan-makanan lokal
seperti umbi-umbian. Memang harus diakui bahwa makanan umbi-umbian tersebut
adalah harta karun terpendam lainnya yang dimiliki oleh ibu pertiwi kita.
Proses
penghilangan pengetahuan kita atas temuan besar leluhur dalam bidang pangan
tersebut rupanya hanya bagian kecil dari proses-proses lainnya terhadap
penghilangan jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Bukan perlahan
lagi, tapi bahkan secara massal generasi kita dibuat tidak percaya diri, tidak
yakin dan merasa minder atas jati dirinya sebagai manusia yang berkebudayaan
dan berpemikiran nusantara. Keyakinan kita sebagai bangsa yang sangat
menghargai makna dan nilai-nilai dijungkirkan agar hanya melihat apa yang
nampak dihadapannya saja. Apa yang didendangkan di TV dipandang sebagai sebuah
kebenaran. Apa yang didedahkan oleh ilmuwan-ilmuwan barat dipaksakan sebagai
sebuah keyakinan. Apa yang didektekan oleh negara-negara kapitalis diyakini
sebagai sebuah kemestian tunggal. Anggapan bahwa bangsa kita tidak memiliki
kedaulatan rupanya tak hanya berlaku
bagi sektor pemerintahnya saja. Masyarakat umum, terutama generasi muda,
digiring secara massal untuk ‘telanjang’ bersama-sama, dan kemudian ramai-ramai
bergaya ala korea, berpemikiran ala amerika, berpakaian ala arab, dsb.
Secara
serampangan, kita diam-diam dicekoki dua pandangan ideologi yang saling
berseberangan. Radikalisme disatu sisi dan liberalisme dikutub lainnya.
Masyarakat kita yang telah mulai kehilangan rasa peduli terhadap makna-makna
ini kemudian merajutnya menjadi konflik panjang antar sesama anak bangsa. Kita
menjadi bingung mana yang agama, mana yang budaya. Mana yang harus dicerdasi
dan dikembangkan secara pemikiran, mana yang harus dijadikan tali pegangan. Hilangnya
tali pegangan untuk merajut kebersamaan sebagai sebuah bangsa ini kemudian
dimanfaatkan untuk mobilisasi kepentingan-kepentingan.
Dalam situasi
seperti ini perlu kiranya kita menilik kembali hadis Nabi Saw: “Sekiranya
berlaku kiamat sedangkan ditangan salah seorang diantara kamu ada benih tamar
dan dia berupaya untuk menanamnnya sebelum kiamat, maka hendaklah ia
menanamnya. Dengan itu dia mendapatkan pahala” (HR. Bukhori). ‘Menanam’ yang
dimaksud rasulullah itu tentunya juga tak bisa dilepaskan dari konteks dan
situasi. Sebagaimana konsepsi tentang ‘ngunduh wohing pakarti’ dalam pandangan
leluhur kita diatas juga bisa dimaknai dalam beragam konteks. Kalau dalam
situasi kiamat saja kita diminta untuk tetap ‘bekerja’ menanamkan benih,
bukannya duduk bersila sambil membaca istigfar sebanyak-banyaknya. Berarti
dalam situasi carut marut kondisi bangsa ini mestinya kita juga tak hanya cukup
untuk sekedar berdoa, berharap, apalagi malah saling menyalahkan dan mencari
kebenaran sendiri-sendiri. Menggagas,
merumuskan dan bekerja secara bersama-sama untuk menyemai benih-benih ‘pakerti’
adalah kebutuhan jaman ini.
Penghilangan jati
diri bangsa tak lantas menjadikan sebagian kita yang masih percaya bahwa kita
adalah bangsa besar menjadi ikut-ikutan minder dan kecil hati. Justru disaat
seperti ini kita perlu sebanyak-banyaknya menebar benih kebaikan; nandur wijining pakerti.’ Wiji’ bisa
bermakna sebenarnya. Karena memang sejauh ini dalam masalah pertanian kita juga
banyak dibohongi sehingga kita lupa betapa cerdas dan kreatifnya leluhur kita
dalam mengolah pangan. Disisi lain, ‘wiji’ juga bisa bermakna konsep
berkebangsaan, konsep bermasyarakat, maupun konsep berkeluarga kita yang sejauh
ini sudah di rancukan oleh pemahaman-pemahaman asing yang membuat kita saling
menyalahkan satu sama lain.
Dengan banyaknya
‘benih’ yang kita tanam, berpedoman pada konsep bahwa ‘urip ngunduh wohing pakerti’ maka entah kapan waktunya kita juga
akan memanen. Keluarga kita, masyarakat, dan bangsa kita pasti akan ‘ngunduh’
panen-panen kedaulatan, panen-panen kemakmuran dan panen-panen keadilan.
0 komentar:
Posting Komentar