Rabu, 21 Mei 2014

NANDUR WIJINING PAKERTI




Oleh: Iman Widodo
Entah sejak kapan, leluhur kita telah mempunyai konsep bahwa “urip iku ngunduh wohing pakerti”. Didalam hidup kita akan memanen apa yang telah kita semai. Konsep hidup itu tampaknya memang sederhana, tapi sebenarnya mengandung makna yang sangat luas; tergantung siapa dan dalam konteks apa ia ‘diwedarkan’.
Berbicara soal memanen, tak bisa dilepaskan dari konteks sosio-historis masyarakat kita yang menjalani hidup dengan bercocok tanam. Sejak berabad-abad yang lalu leluhur kita telah mengenal tanaman yang disebut padi. Pada masa lalu, tanaman yang punya nama lain: pari atau pantun ini disebut dengan istilah ‘juwawut’’. Dari sinilah istilah ‘Jawa dwipa’ muncul untuk menyebut tempat tumbuhnya padi ini.
Bila menilik hal tersebut, agak menggelikan ketika sekarang ini ramai dikampanyekan agar masyarakat beralih dari makanan pokok beras menuju makanan-makanan lokal seperti umbi-umbian. Memang harus diakui bahwa makanan umbi-umbian tersebut adalah harta karun terpendam lainnya yang dimiliki oleh ibu pertiwi kita.
Proses penghilangan pengetahuan kita atas temuan besar leluhur dalam bidang pangan tersebut rupanya hanya bagian kecil dari proses-proses lainnya terhadap penghilangan jati diri kita sebagai sebuah bangsa yang besar. Bukan perlahan lagi, tapi bahkan secara massal generasi kita dibuat tidak percaya diri, tidak yakin dan merasa minder atas jati dirinya sebagai manusia yang berkebudayaan dan berpemikiran nusantara. Keyakinan kita sebagai bangsa yang sangat menghargai makna dan nilai-nilai dijungkirkan agar hanya melihat apa yang nampak dihadapannya saja. Apa yang didendangkan di TV dipandang sebagai sebuah kebenaran. Apa yang didedahkan oleh ilmuwan-ilmuwan barat dipaksakan sebagai sebuah keyakinan. Apa yang didektekan oleh negara-negara kapitalis diyakini sebagai sebuah kemestian tunggal. Anggapan bahwa bangsa kita tidak memiliki kedaulatan  rupanya tak hanya berlaku bagi sektor pemerintahnya saja. Masyarakat umum, terutama generasi muda, digiring secara massal untuk ‘telanjang’ bersama-sama, dan kemudian ramai-ramai bergaya ala korea, berpemikiran ala amerika, berpakaian ala arab, dsb.
Secara serampangan, kita diam-diam dicekoki dua pandangan ideologi yang saling berseberangan. Radikalisme disatu sisi dan liberalisme dikutub lainnya. Masyarakat kita yang telah mulai kehilangan rasa peduli terhadap makna-makna ini kemudian merajutnya menjadi konflik panjang antar sesama anak bangsa. Kita menjadi bingung mana yang agama, mana yang budaya. Mana yang harus dicerdasi dan dikembangkan secara pemikiran, mana yang harus dijadikan tali pegangan. Hilangnya tali pegangan untuk merajut kebersamaan sebagai sebuah bangsa ini kemudian dimanfaatkan untuk mobilisasi kepentingan-kepentingan.
Dalam situasi seperti ini perlu kiranya kita menilik kembali hadis Nabi Saw: “Sekiranya berlaku kiamat sedangkan ditangan salah seorang diantara kamu ada benih tamar dan dia berupaya untuk menanamnnya sebelum kiamat, maka hendaklah ia menanamnya. Dengan itu dia mendapatkan pahala” (HR. Bukhori). ‘Menanam’ yang dimaksud rasulullah itu tentunya juga tak bisa dilepaskan dari konteks dan situasi. Sebagaimana konsepsi tentang ‘ngunduh wohing pakarti’ dalam pandangan leluhur kita diatas juga bisa dimaknai dalam beragam konteks. Kalau dalam situasi kiamat saja kita diminta untuk tetap ‘bekerja’ menanamkan benih, bukannya duduk bersila sambil membaca istigfar sebanyak-banyaknya. Berarti dalam situasi carut marut kondisi bangsa ini mestinya kita juga tak hanya cukup untuk sekedar berdoa, berharap, apalagi malah saling menyalahkan dan mencari kebenaran sendiri-sendiri.  Menggagas, merumuskan dan bekerja secara bersama-sama untuk menyemai benih-benih ‘pakerti’ adalah kebutuhan jaman ini.
Penghilangan jati diri bangsa tak lantas menjadikan sebagian kita yang masih percaya bahwa kita adalah bangsa besar menjadi ikut-ikutan minder dan kecil hati. Justru disaat seperti ini kita perlu sebanyak-banyaknya menebar benih kebaikan; nandur wijining pakerti.’ Wiji’ bisa bermakna sebenarnya. Karena memang sejauh ini dalam masalah pertanian kita juga banyak dibohongi sehingga kita lupa betapa cerdas dan kreatifnya leluhur kita dalam mengolah pangan. Disisi lain, ‘wiji’ juga bisa bermakna konsep berkebangsaan, konsep bermasyarakat, maupun konsep berkeluarga kita yang sejauh ini sudah di rancukan oleh pemahaman-pemahaman asing yang membuat kita saling menyalahkan satu sama lain.
Dengan banyaknya ‘benih’ yang kita tanam, berpedoman pada konsep bahwa ‘urip ngunduh wohing pakerti’ maka entah kapan waktunya kita juga akan memanen. Keluarga kita, masyarakat, dan bangsa kita pasti akan ‘ngunduh’ panen-panen kedaulatan, panen-panen kemakmuran dan panen-panen keadilan.

0 komentar:

Posting Komentar